Selasa, 24 September 2013

“Amadeus” dari Sisi Spiritual

Pada pertemuan Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) hari Minggu, tanggal 15 September 2013, mulai pukul 11:30 WIB, bertempat di Hotel Madju, Bandung, film “Amadeus” (1984) diputar yang kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi filsafat Perennial mengenai film yang memenangkan 8 piala Oscar tahun 1984 (termasuk kategori film terbaik) tersebut dan dipandu oleh Iman Budi Susu yang merupakan anggota baru S.G.S.S. Teman-teman yang hadir dalam pertemuan kali ini pun terlihat begitu khusuk menonton film “Amadeus” sepanjang pemutarannya. Pemutaran film yang berdurasi 180 menit atau 3 jam itu dibagi menjadi 2 sesi, yaitu pemutaran film 2 jam pertama yang kemudian diselingi dengan istirahat makan siang dan pemutaran film 1 jam berikutnya yang dilanjutkan dengan diskusi.

 
Suasana pemutaran film "Amadeus"

Film "Amadeus" yang sedang diputar

Film “Amadeus” menceritakan kehidupan seorang musisi fenomenal, Wolfgang Amadeus Mozart, dari sudut pandang musisi yang sangat iri padanya, yaitu Antonio Salieri. Dengan kritis sekaligus artistik, film ini menunjukan karakter Salieri yang kejam secara psikis dan “merancang” kehancuran untuk hidup dan eksistensi Mozart dalam berkarya musik. Dari film ini, banyak hal yang bisa dikaji dari berbagai sudut pandang, tanpa terkecuali dari sudut pandang filsafat Perennial.

Sepanjang sesi diskusi, hampir semua yang hadir ikut berpartisipasi dan mengutarakan pendapatnya masing-masing. Tante Neni Menik, salah satu anggota S.G.S.S yang eksis sejak tahun 2010, merupakan partisipan pertama yang mengutarakan pendapatnya sehingga memancing teman-teman yang lain untuk berpendapat. Ia berpendapat, “Salieri begitu iri dengan potensi Mozart sehingga ia ingin menghancurkan kehidupan Mozart. Tapi, saya merasa tersentuh melihat Salieri mau membantu Mozart menyelesaikan partitur misa kematian dan Mozart malah berterima kasih padanya.” Kemudian, tante Neni pun menambahkan, “Ketika Mozart mengerjakan partitur misa kematian yang dibantu oleh Salieri, Mozart mencantumkan ke dalamnya sebuah kalimat tentang api neraka yang terus membakar jiwa secara abadi. Saya merasa, kalimat itulah yang sebenarnya tertuju kepada Salieri walaupun Mozart tidak bermaksud ke situ. Buktinya, Salieri tetap termakan penyesalannya sendiri sekian lama setelah kematian Mozart karena rasa irinya yang berlebihan itu.”

Setelah tante Neni berpendapat, Sherika yang juga salah satu anggota S.G.S.S yang cukup intens mengikuti pertemuan-pertemuan S.G.S.S dan berdomisli di Jakarta melanjutkan diskusi dengan memberi pendapat, “Salieri seperti kebanyakan orang yang mengaku beriman di zaman sekarang, yang cenderung naif dan pamrih. Ketika keinginannya tidak dikabulkan, mereka cenderung marah dan baliknya mengutuk Tuhan.”

Suasana diskusi seusai pemutaran film “Amadeus”

Diskusi pun terus berlanjut dan berbagai pendapat lain bermunculan. Ibu Maria Widjaja yang merupakan pencetus S.G.S.S menuturkan pendapatnya yang berbeda, “Kalau saya kaji dari film ini, Mozart sebenarnya adalah sosok yang spiritual. Itu bisa terlihat dari gaya tertawanya yang berbeda, seolah menertawakan diri sendiri. Dalam kajian Ancient Wisdom, kita harus bisa menertawakan diri kita sendiri, sebagai introspeksi terhadap diri kita sendiri. Kita ini diberi pilihan, apakah mau melatih diri menggunakan Higher-Self/Mental Luhur atau mau lower-self/mental rendah di mana negatifitas mendominasi diri/ego. Maka dari itu, ada perbedaan prinsipil antara orang yang bertuhan dan orang yang beragama. Kita lihat Salieri, dia memang beragama tapi caranya salah sampai mengutuk tuhan karena potensi yang dia miliki tidak sebanding dengan Mozart.”

Ibu Elly, yang juga anggota S.G.S.S yang mengaku ingin banyak belajar mengutarakan pendapatnya yang seolah merupakan “kesimpulan” atas diskusi yang tengah berlangsung, “Pada akhirnya, rasa iri itu sama sekali tidak ada manfaatnya bagi orang yang memiliki rasa iri itu dan malah bisa merusak dirinya sendiri.”

Diskusi semakin berlanjut dengan berbagai sudut pandang lainnya. Dari sudut pandang media, sempat terutarakan dalam diskusi bahwa kita jangan sampai mudah terpengaruh oleh media, apalagi di zaman media sosial seperti saat ini. Seperti halnya yang diajarkan dalam filsafat Perennial, kita selayaknya terus belajar dari segala sesuatu dan tidak terpaku pada referensi tunggal tertentu. Banyak hal yang bisa dipelajari dari film “Amadeus” yang telah diputar dalam pertemuan S.G.S.S kali ini dan tentu saja dari media yang lain juga. Semoga kita semua terus mau mempelajari kehidupan dari segala sesuatu.


Bandung, 24 September 2013
S.G.S.S