Senin, 04 November 2013

“Child Prodigy”: Pengaruh Bakat, Lingkungan atau Reinkarnasi?

Pada acara diskusi filsafat Perennial Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) tanggal 3 Nopember 2013 yang lalu, mulai pukul 11:30 WIB, bertempat di hotel Madju, Sherika yang merupakan seorang seniman desain produk lulusan STISI Bandung, memandu diskusi dengan topik yang disodorkannya bertema “Child Prodigy”. “Child Prodigy” sendiri singkatnya adalah anak yang memiliki bakat dan kemampuan yang luar biasa di bidang tertentu.

Sherika memandu diskusi “Child Prodigy”

Dalam pandangan masyarakat umum, manusia memiliki kemampuan yang luar biasa di bidang tertentu terbentuk karena latihan yang keras dan usaha yang tekun. Namun, pada fenomena “Child Prodigy” yang dibawakan oleh Sherika lewat sejumlah video yang diputar, kita diperlihatkan pada kenyataan bahwa sejumlah anak memiliki kemampuan yang luar biasa di bidang tertentu seolah “ganjil”. Anak-anak ini terlihat tidak hanya memiliki bakat secara genetik, melainkan juga seakan ada “keajaiban” menyertainya. “Keajaiban” di sini adalah anak-anak tersebut seolah memiliki “old soul”: walau fisik mereka anak-anak, tapi jiwa dan pikiran mereka lebih dewasa dari usianya.

Salah satu video “Child Prodigy”

Sherika sendiri sebagai pembicara mengaku bahwa ia tidak begitu mempercayai fenomena ini bila dikaitkan dengan teori reinkarnasi. Walau demikian, ia mengatakan bahwa ia tidak memungkirinya, karena reinkarnasi tentu bisa ditelaah, khususnya dari sudut pandang Teosofi. 

Para peserta yang hadir mengemukakan pendapat-pendapatnya mengenai “Child Prodigy” pada sesi diskusi. Tante Elly berpendapat, “Jika itu dianggap keajaiban, saya setuju. Dalam salah satu video yang diputar tadi, ada seorang anak yang baru sedikit diberi referensi mengenai sebuah lagu dan belum pernah mendengarkannya secara utuh sebelumya, anak tersebut langsung mampu memainkan lagu tersebut dengan sempurna. Bagi saya, itulah keajaiban.” Tante Neni pun berpendapat, “Setiap anak sebenarnya sudah membentuk pola-pola intelektual dan emosional yang didapat dari stimulasi terus menerus saat dalam kandungan sampai dengan dilahirkan. Bagi orang tua yang menyadari potensi ini, mereka akan memfasilitasi anak untuk melanjutkan stimulasinya. Banyak orang tua yang tidak menyadari potensi ini sehingga tanpa sadar mereka mendegeniuskan kemampuan anak, menjadikannya biasa-biasa saja.”

Suasana diskusi “Child Prodigy”

Di akhir diskusi, Alnino Utomo memaparkan tinjauan dari Teosofi terhadap fenomena “Child Prodigy”, “Dari buku filsafat India, saya membaca bahwa setiap orang memiliki karma dan mengalami reinkarnasinya sendiri-sendiri. Saat menjadi Biku, saya pernah melakukan meditasi untuk mengetahui kehidupan saya di masa lalu dan saya melihat bahwa dulunya saya memiliki misi yang belum terselesaikan. Maka dari itu, saya kembali dilahirkan menjadi sosok Nino ini untuk menyelesaikan misi tersebut. Ini juga bisa saja terjadi pada anak-anak ‘Prodigy’. Mereka merupakan reinkarnasi dari jiwa-jiwa yang dulunya memiliki misi yang belum terselesaikan.”

Akhirnya, semua bisa disimpulkan oleh para peserta diskusi masing-masing. Bila dilihat dari sudut pandang filsafat Perennial, pendapat mengenai bakat, lingkungan dan reinkarnasi terhadap “Child Prodigy” tentu bisa diterima maupun diperdebatkan, karena masing-masing memiliki alasan. Diskusi pun selesai dan ditutup dengan makan siang yang sangat spesial. Menu makan siang kali ini adalah nasi goreng Thailand buatan tante Neni dilengkapi dengan Mix Fruit Sallad buatan tante Elly. Para peserta diskusi begitu lahap menikmati hidangan yang tersedia. 

Menu makan siang S.G.S.S: “All Vege-Foods by tante Neni & tante Elly  

Selesai menikmati hidangan makan siang, para peserta kembali ke ruangan dan menentukan topik diskusi untuk acara S.G.S.S berikutnya. Apakah itu? Tunggu kabar selanjutnya!



Bandung, 4 November 2013

S.G.S.S

Rabu, 30 Oktober 2013

Pertemuan Studi Grup Sanggar Sophia Selanjutnya!

Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) mengundang anda untuk hadir dalam diskusi filsafat Perennial dengan topik “Child Prodigy” yang akan dibawakan oleh Sherika, pada hari Minggu, tanggal 3 November 2013, mulai pukul 11:30 WIB, bertempat di Hotel Madju, jalan R.E. Martadinata No. 94 Paviliun (sebelah BCA Riau) Bandung. Kehadiran dan partisipasi anda akan menambah wawasan kita semua. Be there!

Rabu, 23 Oktober 2013

"Water Birth": Hakikat Air untuk Kelahiran Manusia

Pada acara diskusi filsafat Perennial Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) hari Minggu, tanggal 20 Oktober 2013 yang lalu, bertempat di Hotel Madju, Bandung, mulai pukul 11:30 WIB, Intan Raksaprawira, seorang penggiat diskusi filsafat yang kerap aktif di Universitas Islam Bandung dan sudah cukup lama bergiat di S.G.S.S, menjadi pemandu studi dengan topik “Water Birth”. “Water Birth” sendiri singkatnya adalah proses melahirkan di dalam air, yang pada saat ini mulai banyak diberlakukan oleh pihak medis. Dengan mengangkat topik yang cukup menarik ini, S.G.S.S padat dihadiri oleh para peserta diskusi yang baru atau pertama kali hadir ke S.G.S.S dan jumlahnya lebih banyak dari acara diskusi filsafat Perennial sebelumnya yang dipandu oleh Alnino Utomo.

Intan Raksaprawira memandu diskusi filsafat Perennial dengan topik “Water Birth”

Intan membuka diskusi dengan menjelaskan sejarah dari “Water Birth”. Sebelum banyak diberlakukan oleh pihak medis di zaman modern seperti sekarang, sebenarnya “Water Birth” sudah diberlakukan sejak zaman dulu, seperti pada zaman Mesir kuno maupun Romawi kuno. Tentunya itu diberlakukan jauh sebelum dunia medis atau dunia kedokteran secanggih sekarang, dalam artian, belum menggunakan alat-alat medis berteknologi modern. Tambahnya, menurut mereka yang sudah pernah menjalaninya, “Water Birth” tidak sesakit proses melahirkan secara normal maupun proses caesar yang kerap mengganggu proses persalinan bagi sang ibu (pada titik ekstrim). 

Intan memilih topik “Water Birth” untuk diskusi filsafat Perennial kali ini karena ia menilai bahwa “Water Birth” bisa menjadi rujukan berawalnya Universal Brotherhood yang dia petik dari buku “The Key of Theosophy” dan esensi alam semesta seperti air dipisahkan dari manusia oleh modernisasi yang dianggapnya perlu redefinisi. Dalam video yang kemudian diputar, bisa dilihat bahwa peran antara pasangan suami istri atau ayah dan ibu begitu intim ketika menjalani proses “Water Birth”. Dari beberapa video yang diputar, bisa disimpulkan bahwa peran suami dalam membantu proses kelahiran anak begitu kuat, di mana sang suami berusaha keras membantu sang istri melahirkan bayinya di dalam kolam air, ikut beredam di dalam kolam air tempat berlangsungnya proses “Water Birth” dan hubungan yang sangat kuat antara suami dan istri terlihat secara alamiah di sana. 

           Salah satu video “Water Birth” yang diputar            

Suasana saat diputarnya video-video “Water Birth”

Kemudian, Intan mengkritik dunia medis saat ini yang cenderung “mempolitisir” proses persalinan dengan bantuan obat-obatan serta alat medis berteknologi tinggi seperti USG yang kerap mempengaruhi secara negatif terhadap janin, misalnya karena dampak zat kimia maupun zat radioaktif. “Pada zaman dulu, orang menjalani proses 'Water Birth' tidak dengan bantuan alat atau obat seperti zaman sekarang dan mereka banyak yang sehat. Bayinya juga terlahir tidak cacat,” tutur Intan. Intan menambahkan bahwa “mempolitisir” tersebut seolah memberi jarak antara manusia dengan esensi alam semesta, sehingga manusia cenderung diharuskan “bergantung” pada dunia medis dan alat-alatnya yang berteknologi tinggi.

Pendapat ini lantas mendapatkan sejumlah tanggapan dari para peserta diskusi saat sesi diskusi dibuka. Ivana Stojakovic, seorang seniman asal Serbia yang kerap aktif dalam acara diskusi S.G.S.S sejak lama, mengutarakan pendapatnya, “Ya, setiap zaman memang memiliki politiknya masing-masing. Di zaman Romawi kuno, ada politiknya. Mungkin di zaman sekarang ini, politik yang cukup disorot adalah dalam dunia medis yang menggunakan teknologi canggih.”

Iman Budi Susu, yang merupakan kontributor blog S.G.S.S, mengemukakan pendapatnya yang berkaitan dengan teori Michel Foucault, “Saya sempat sedikitnya membaca teori mengenai 'Politik Klinik' yang ditulis oleh Michel Foucault dan dari sana bisa saya simpulkan bahwa dunia medis sebenarnya telah menjadi sebuah sistem kapitalisme yang mempengaruhi orang-orang untuk 'membeli' produk medis demi kepentingan sang kapitalis, bukan semata-mata bertujuan untuk mengobati orang-orang demi kemanusiaan.”

Alnino Utomo yang menjadi pemandu studi di S.G.S.S sebelumnya pun ikut berpendapat, “Zaman dulu, 'Water Birth' dilakukan di sungai-sungai yang tenang agar tekanan air yang tenang itu membuat sang ibu telah rileks saat menjalani proses melahirkan. Ini jelas-jelas lebih alami dan menyatukan diri dengan esensi alam semesta.”

Ivana yang kebetulan sedang hamil dan sering melakukan pemeriksaan kepada pihak medis mengatakan bahwa, “Memang benar, sekarang hampir semuanya dikomersialisasikan dan  kapitalisme. Saya sempat survei ke salah satu rumah sakit di Bandung dan katanya 'Water Birth' itu biayanya sampai 20 juta Rupiah.”

Suasana diskusi “Water Birth”

Diskusi pun semakin berlanjut dengan berbagai pendapat yang berbeda dari para peserta diskusi dan menjadikan topik “Water Birth” semakin seru untuk terus digali esensinya. Seperti halnya yang terkaji dalam Ancient Wisdom, alam semesta telah menyediakan banyak sekali makna untuk kehidupan, tak terkecuali air yang memang bisa membantu proses kelahiran manusia untuk membuatnya semakin intim dengan hakikat alam semesta, mengingat bahwa air sendiri adalah elemen penting dalam kehidupan bumi dan isinya.


Bandung, 23 Oktober 2013
S.G.S.S

Selasa, 22 Oktober 2013

Halaman Facebook Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S)

Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) kini telah memiliki halaman facebook dengan alamat http://www.facebook.com/sanggarsophia. Silakan rekan-rekan "like" langsung di situs facebook dengan klik di sini.

Selasa, 15 Oktober 2013

Pertemuan Studi Grup Sanggar Sophia Selanjutnya!

Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) mengundang anda untuk hadir dalam diskusi filsafat Perennial dengan topik “Water Birth” yang akan dipandu oleh Intan Raksaprawira, pada hari Minggu, tanggal 20 Oktober 2013, mulai pukul 11:30 WIB, bertempat di Hotel Madju, jalan R.E. Martadinata No. 94 Paviliun (sebelah BCA Riau) Bandung. Kehadiran dan partisipasi anda akan menambah wawasan kita semua. Be there! 


Kamis, 10 Oktober 2013

Warna-warni Kebebasan

Diskusi filsafat Perennial kembali diadakan oleh Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) pada hari Minggu, tanggal 6 Oktober 2013, mulai pukul 11:30 WIB, di Hotel Madju, Bandung. Bila pada pertemuan sebelumnya diputar film “Amadeus” dan dikaji dari berbagai sudut pandang, termasuk dari sudut pandang filsafat Perennial, kali ini S.G.S.S mengangkat topik “Makna Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur” yang dipandu oleh Alnino Utomo, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Hubungan Internasional di sebuah PTS di kota Bandung yang juga anggota lama S.G.S.S. 

Alnino Utomo memandu diskusi “Makna Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur”

Alnino yang memandu diskusi dengan memaparkan materinya di papan tulis, sebelum menyampaikan keseluruhan materi, mengajak rekan-rekan yang hadir dalam diskusi untuk memaparkan pendapat masing-masing mengenai apa itu kebebasan terlebih dahulu. Ibu Maria Widjaja berpendapat sekaligus mempertanyakan kembali, “Adakah yang namanya kebebasan?” Kemudian, mas Roy Aryo, salah satu anggota S.G.S.S  yang sudah cukup lama dan intensif mengikuti pertemuan-pertemuan S.G.S.S,  berpendapat, “Kebebasan memiliki keterkaitan dengan yang lain, maka dari itu tidak ada namanya kebebasan absolut.” Pak John pun memberi pendapat yang serupa bahwa, “Kebebasan individu satu ada kaitannya dengan kebebasan individu yang lain.”

Setelah mendengarkan pendapat rekan-rekan mengenai apa itu kebebasan, Alnino menulis di papan tulis mengenai perbandingan makna kebebasan antara konsep Sartre (filsafat Barat) dan Buddha (filsafat Timur). Alnino mengambil perbandingan tersebut karena dianggapnya menarik, walau Sartre dan Buddha hidup di lingkungan dan zaman yang berbeda. Sebelum memaparkan perbandingan kedua konsep tersebut mengenai kebebasan, Alnino mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai apa itu kebebasan, “Kebebasan itu tidak bersebab.”

Dari sana, Alnino langsung tertuju pada perbandingan kedua konsep dari Sartre dan Buddha. Alnino mengatakan bahwa sebelum memasuki makna kebebasan dari kedua konsep tersebut, kita patut menyelami terlebih dahulu bagaimana Sartre dan Buddha memaknai hidup, karena faktor tersebut akan sangat mempengaruhi keduanya dalam memaparkan apa itu kebebasan.

Buddha memaknai hidup dengan “8 jalan kebenaran”, yaitu:

  1. Panna atau Prajna
  2. Pengertian Benar
  3. Pikiran Benar
  4. Sila
  5. Ucapan Benar
  6. Perbuatan Benar
  7. Pencaharian Benar
  8. Samadhi
Sedangkan dari perspektif Sartre, Sartre memaknai hidup dengan kesadaran pra-reflektif dan kesadaran reflektif. Contoh kesadaran pra-reflektif adalah ketika kita membaca buku, kita kerap menyadari isi bukunya ketimbang kegiatan kita yang sedang membaca buku. Sedangkan contoh kesadaran reflektif adalah di mana kita menyadari kegiatan kita yang membaca buku, lalu merefleksikannya ke dalam perbuatan kita.

Kemudian, Alnino langsung membahas ke poin makna kebebasan dari keduanya. Dari sudut pandang Buddha, kebebasan bisa tercapai dengan “selfless”. Maksud dari “selfless” di sini adalah tidak ada keakuan dan melepaskan persepsi. Selain itu, bagi Buddha, untuk mencapai kebebasan, eksistensi tidak begitu penting. 

Sedangkan dari Sartre, untuk mencapai kebebasan, keakuan itu penting. Bagi Sartre, manusia itu, mau tidak mau, harus bersikap subjektif sebelum bersikap objektif, berbanding terbalik dengan Buddha yang menyatakan bahwa kita harus selalu bersikap objektif. Tambahnya, menurut Buddha, untuk memaknai kebebasan, kita patut memaknai kehidupan terlebih dahulu. Sedangkan menurut Sartre, kebebasan bagi yang hidup adalah kutukan. Mengapa kutukan? Karena ketika kita masuk ke dalam raga, maka di situlah kita terkukung dalam raga tersebut dan di situlah kebebasan hilang.

Walau demikian, Alnino menuturkan, “Tapi, keduanya memiliki sebuah kesamaan.  Menurut mereka, dengan tanpa fisik, di situlah kebebasan itu ada. Sartre menjelaskan bahwa sebelum kita hidup dan setelah kita hidup, kita menemukan kebebasan. Sedangkan Buddha mengatakan ketika kita mati dan tidak reinkarnasi lagi, di situlah kita menemukan kebebasan.”

Tapi, Alnino juga mengatakan, “Mengenai makna kebebasan, sebenarnya Buddha dan Sartre cukup bertentangan. Buddha mengatakan bahwa kebebasan itu bukan dicapai, tapi dimaknai. Sedangkan menurut Sartre, kebebasan itu harus dicapai. Maka dari itu, Sartre cenderung pro-revolusi dan mendukung peperangan. Kenapa? Karena dia menganggap nyawa manusia itu tidak ada harganya dan dengan membunuh manusia, dia membantu mendapatkan kebebasan.”

Tante Tina yang merupakan salah satu anggota lama S.G.S.S lantas bertanya pada Alnino, “Maksud dari dengan membunuh bisa membantu mendapatkan kebebasan itu apa?” Alnino pun menjawab, “Misalnya, saya membunuh seseorang. Seseorang yang saya bunuh itu meninggal dan di situlah dia mendapatkan kebebasan.”

Setelah pemaparan materi yang cukup panjang dari Alnino, ia membuka sesi diskusi. Iman Budi Susu yang merupakan seorang anggota baru S.G.S.S menceritakan pengalamannya mengenai kebebasan, “Sesuai pengalaman saya, kebebasan adalah kejujuran. Orang akan mendapatkan kebebasan bila ia jujur, terutama terhadap diri sendiri.” 

Suasana diskusi “Makna Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur”

Pak John pun kembali mengemukakan pendapatnya mengenai kebebasan dan menambahkan poin kejujuran, “Biasanya, orang yang tidak jujur, selain tidak bebas, juga akan sering ketiban sial.” Sesi diskusi berlangsung cukup panjang setelahnya hingga kesimpulan bisa ditarik oleh rekan-rekan masing-masing sendiri yang hadir. Layaknya kehidupan, kebebasan itu paradoks, sehingga bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Di akhir sesi diskusi, tercetuskanlah dari rekan-rekan yang hadir mengenai topik untuk pertemuan S.G.S.S berikutnya. Apakah itu? Nantikan pengumumannya!



Bandung, 10 Oktober 2013
S.G.S.S

Rabu, 02 Oktober 2013

Pertemuan Studi Grup Sanggar Sophia Selanjutnya

Studi Grup Sanggar Sophia mengundang anda untuk hadir dalam diskusi filsafat Perennial dengan topik "MAKNA KEBEBASAN DARI PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT & TIMUR" yang akan dipandu Alnino Utomo, pada hari Minggu, tanggal 6 Oktober 2013, pukul 11:30 WIB, di Hotel Madju, jalan R.E. Martadinata No. 94 (Sebelah BCA Riau) Paviliun, Bandung. Kehadiran dan partisipasi anda dalam diskusi akan menambah wawasan kita semua. BE THERE!


Selasa, 24 September 2013

“Amadeus” dari Sisi Spiritual

Pada pertemuan Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) hari Minggu, tanggal 15 September 2013, mulai pukul 11:30 WIB, bertempat di Hotel Madju, Bandung, film “Amadeus” (1984) diputar yang kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi filsafat Perennial mengenai film yang memenangkan 8 piala Oscar tahun 1984 (termasuk kategori film terbaik) tersebut dan dipandu oleh Iman Budi Susu yang merupakan anggota baru S.G.S.S. Teman-teman yang hadir dalam pertemuan kali ini pun terlihat begitu khusuk menonton film “Amadeus” sepanjang pemutarannya. Pemutaran film yang berdurasi 180 menit atau 3 jam itu dibagi menjadi 2 sesi, yaitu pemutaran film 2 jam pertama yang kemudian diselingi dengan istirahat makan siang dan pemutaran film 1 jam berikutnya yang dilanjutkan dengan diskusi.

 
Suasana pemutaran film "Amadeus"

Film "Amadeus" yang sedang diputar

Film “Amadeus” menceritakan kehidupan seorang musisi fenomenal, Wolfgang Amadeus Mozart, dari sudut pandang musisi yang sangat iri padanya, yaitu Antonio Salieri. Dengan kritis sekaligus artistik, film ini menunjukan karakter Salieri yang kejam secara psikis dan “merancang” kehancuran untuk hidup dan eksistensi Mozart dalam berkarya musik. Dari film ini, banyak hal yang bisa dikaji dari berbagai sudut pandang, tanpa terkecuali dari sudut pandang filsafat Perennial.

Sepanjang sesi diskusi, hampir semua yang hadir ikut berpartisipasi dan mengutarakan pendapatnya masing-masing. Tante Neni Menik, salah satu anggota S.G.S.S yang eksis sejak tahun 2010, merupakan partisipan pertama yang mengutarakan pendapatnya sehingga memancing teman-teman yang lain untuk berpendapat. Ia berpendapat, “Salieri begitu iri dengan potensi Mozart sehingga ia ingin menghancurkan kehidupan Mozart. Tapi, saya merasa tersentuh melihat Salieri mau membantu Mozart menyelesaikan partitur misa kematian dan Mozart malah berterima kasih padanya.” Kemudian, tante Neni pun menambahkan, “Ketika Mozart mengerjakan partitur misa kematian yang dibantu oleh Salieri, Mozart mencantumkan ke dalamnya sebuah kalimat tentang api neraka yang terus membakar jiwa secara abadi. Saya merasa, kalimat itulah yang sebenarnya tertuju kepada Salieri walaupun Mozart tidak bermaksud ke situ. Buktinya, Salieri tetap termakan penyesalannya sendiri sekian lama setelah kematian Mozart karena rasa irinya yang berlebihan itu.”

Setelah tante Neni berpendapat, Sherika yang juga salah satu anggota S.G.S.S yang cukup intens mengikuti pertemuan-pertemuan S.G.S.S dan berdomisli di Jakarta melanjutkan diskusi dengan memberi pendapat, “Salieri seperti kebanyakan orang yang mengaku beriman di zaman sekarang, yang cenderung naif dan pamrih. Ketika keinginannya tidak dikabulkan, mereka cenderung marah dan baliknya mengutuk Tuhan.”

Suasana diskusi seusai pemutaran film “Amadeus”

Diskusi pun terus berlanjut dan berbagai pendapat lain bermunculan. Ibu Maria Widjaja yang merupakan pencetus S.G.S.S menuturkan pendapatnya yang berbeda, “Kalau saya kaji dari film ini, Mozart sebenarnya adalah sosok yang spiritual. Itu bisa terlihat dari gaya tertawanya yang berbeda, seolah menertawakan diri sendiri. Dalam kajian Ancient Wisdom, kita harus bisa menertawakan diri kita sendiri, sebagai introspeksi terhadap diri kita sendiri. Kita ini diberi pilihan, apakah mau melatih diri menggunakan Higher-Self/Mental Luhur atau mau lower-self/mental rendah di mana negatifitas mendominasi diri/ego. Maka dari itu, ada perbedaan prinsipil antara orang yang bertuhan dan orang yang beragama. Kita lihat Salieri, dia memang beragama tapi caranya salah sampai mengutuk tuhan karena potensi yang dia miliki tidak sebanding dengan Mozart.”

Ibu Elly, yang juga anggota S.G.S.S yang mengaku ingin banyak belajar mengutarakan pendapatnya yang seolah merupakan “kesimpulan” atas diskusi yang tengah berlangsung, “Pada akhirnya, rasa iri itu sama sekali tidak ada manfaatnya bagi orang yang memiliki rasa iri itu dan malah bisa merusak dirinya sendiri.”

Diskusi semakin berlanjut dengan berbagai sudut pandang lainnya. Dari sudut pandang media, sempat terutarakan dalam diskusi bahwa kita jangan sampai mudah terpengaruh oleh media, apalagi di zaman media sosial seperti saat ini. Seperti halnya yang diajarkan dalam filsafat Perennial, kita selayaknya terus belajar dari segala sesuatu dan tidak terpaku pada referensi tunggal tertentu. Banyak hal yang bisa dipelajari dari film “Amadeus” yang telah diputar dalam pertemuan S.G.S.S kali ini dan tentu saja dari media yang lain juga. Semoga kita semua terus mau mempelajari kehidupan dari segala sesuatu.


Bandung, 24 September 2013
S.G.S.S