Kamis, 10 Oktober 2013

Warna-warni Kebebasan

Diskusi filsafat Perennial kembali diadakan oleh Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) pada hari Minggu, tanggal 6 Oktober 2013, mulai pukul 11:30 WIB, di Hotel Madju, Bandung. Bila pada pertemuan sebelumnya diputar film “Amadeus” dan dikaji dari berbagai sudut pandang, termasuk dari sudut pandang filsafat Perennial, kali ini S.G.S.S mengangkat topik “Makna Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur” yang dipandu oleh Alnino Utomo, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Hubungan Internasional di sebuah PTS di kota Bandung yang juga anggota lama S.G.S.S. 

Alnino Utomo memandu diskusi “Makna Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur”

Alnino yang memandu diskusi dengan memaparkan materinya di papan tulis, sebelum menyampaikan keseluruhan materi, mengajak rekan-rekan yang hadir dalam diskusi untuk memaparkan pendapat masing-masing mengenai apa itu kebebasan terlebih dahulu. Ibu Maria Widjaja berpendapat sekaligus mempertanyakan kembali, “Adakah yang namanya kebebasan?” Kemudian, mas Roy Aryo, salah satu anggota S.G.S.S  yang sudah cukup lama dan intensif mengikuti pertemuan-pertemuan S.G.S.S,  berpendapat, “Kebebasan memiliki keterkaitan dengan yang lain, maka dari itu tidak ada namanya kebebasan absolut.” Pak John pun memberi pendapat yang serupa bahwa, “Kebebasan individu satu ada kaitannya dengan kebebasan individu yang lain.”

Setelah mendengarkan pendapat rekan-rekan mengenai apa itu kebebasan, Alnino menulis di papan tulis mengenai perbandingan makna kebebasan antara konsep Sartre (filsafat Barat) dan Buddha (filsafat Timur). Alnino mengambil perbandingan tersebut karena dianggapnya menarik, walau Sartre dan Buddha hidup di lingkungan dan zaman yang berbeda. Sebelum memaparkan perbandingan kedua konsep tersebut mengenai kebebasan, Alnino mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai apa itu kebebasan, “Kebebasan itu tidak bersebab.”

Dari sana, Alnino langsung tertuju pada perbandingan kedua konsep dari Sartre dan Buddha. Alnino mengatakan bahwa sebelum memasuki makna kebebasan dari kedua konsep tersebut, kita patut menyelami terlebih dahulu bagaimana Sartre dan Buddha memaknai hidup, karena faktor tersebut akan sangat mempengaruhi keduanya dalam memaparkan apa itu kebebasan.

Buddha memaknai hidup dengan “8 jalan kebenaran”, yaitu:

  1. Panna atau Prajna
  2. Pengertian Benar
  3. Pikiran Benar
  4. Sila
  5. Ucapan Benar
  6. Perbuatan Benar
  7. Pencaharian Benar
  8. Samadhi
Sedangkan dari perspektif Sartre, Sartre memaknai hidup dengan kesadaran pra-reflektif dan kesadaran reflektif. Contoh kesadaran pra-reflektif adalah ketika kita membaca buku, kita kerap menyadari isi bukunya ketimbang kegiatan kita yang sedang membaca buku. Sedangkan contoh kesadaran reflektif adalah di mana kita menyadari kegiatan kita yang membaca buku, lalu merefleksikannya ke dalam perbuatan kita.

Kemudian, Alnino langsung membahas ke poin makna kebebasan dari keduanya. Dari sudut pandang Buddha, kebebasan bisa tercapai dengan “selfless”. Maksud dari “selfless” di sini adalah tidak ada keakuan dan melepaskan persepsi. Selain itu, bagi Buddha, untuk mencapai kebebasan, eksistensi tidak begitu penting. 

Sedangkan dari Sartre, untuk mencapai kebebasan, keakuan itu penting. Bagi Sartre, manusia itu, mau tidak mau, harus bersikap subjektif sebelum bersikap objektif, berbanding terbalik dengan Buddha yang menyatakan bahwa kita harus selalu bersikap objektif. Tambahnya, menurut Buddha, untuk memaknai kebebasan, kita patut memaknai kehidupan terlebih dahulu. Sedangkan menurut Sartre, kebebasan bagi yang hidup adalah kutukan. Mengapa kutukan? Karena ketika kita masuk ke dalam raga, maka di situlah kita terkukung dalam raga tersebut dan di situlah kebebasan hilang.

Walau demikian, Alnino menuturkan, “Tapi, keduanya memiliki sebuah kesamaan.  Menurut mereka, dengan tanpa fisik, di situlah kebebasan itu ada. Sartre menjelaskan bahwa sebelum kita hidup dan setelah kita hidup, kita menemukan kebebasan. Sedangkan Buddha mengatakan ketika kita mati dan tidak reinkarnasi lagi, di situlah kita menemukan kebebasan.”

Tapi, Alnino juga mengatakan, “Mengenai makna kebebasan, sebenarnya Buddha dan Sartre cukup bertentangan. Buddha mengatakan bahwa kebebasan itu bukan dicapai, tapi dimaknai. Sedangkan menurut Sartre, kebebasan itu harus dicapai. Maka dari itu, Sartre cenderung pro-revolusi dan mendukung peperangan. Kenapa? Karena dia menganggap nyawa manusia itu tidak ada harganya dan dengan membunuh manusia, dia membantu mendapatkan kebebasan.”

Tante Tina yang merupakan salah satu anggota lama S.G.S.S lantas bertanya pada Alnino, “Maksud dari dengan membunuh bisa membantu mendapatkan kebebasan itu apa?” Alnino pun menjawab, “Misalnya, saya membunuh seseorang. Seseorang yang saya bunuh itu meninggal dan di situlah dia mendapatkan kebebasan.”

Setelah pemaparan materi yang cukup panjang dari Alnino, ia membuka sesi diskusi. Iman Budi Susu yang merupakan seorang anggota baru S.G.S.S menceritakan pengalamannya mengenai kebebasan, “Sesuai pengalaman saya, kebebasan adalah kejujuran. Orang akan mendapatkan kebebasan bila ia jujur, terutama terhadap diri sendiri.” 

Suasana diskusi “Makna Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur”

Pak John pun kembali mengemukakan pendapatnya mengenai kebebasan dan menambahkan poin kejujuran, “Biasanya, orang yang tidak jujur, selain tidak bebas, juga akan sering ketiban sial.” Sesi diskusi berlangsung cukup panjang setelahnya hingga kesimpulan bisa ditarik oleh rekan-rekan masing-masing sendiri yang hadir. Layaknya kehidupan, kebebasan itu paradoks, sehingga bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Di akhir sesi diskusi, tercetuskanlah dari rekan-rekan yang hadir mengenai topik untuk pertemuan S.G.S.S berikutnya. Apakah itu? Nantikan pengumumannya!



Bandung, 10 Oktober 2013
S.G.S.S