Diskusi filsafat Perennial kembali diadakan oleh
Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) pada hari Minggu, tanggal 6 Oktober 2013,
mulai pukul 11:30 WIB, di Hotel Madju, Bandung. Bila pada pertemuan sebelumnya
diputar film “Amadeus” dan dikaji dari berbagai sudut pandang, termasuk dari
sudut pandang filsafat Perennial, kali ini S.G.S.S mengangkat topik “Makna
Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur” yang dipandu oleh Alnino
Utomo, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Hubungan Internasional di sebuah
PTS di kota Bandung yang juga anggota lama S.G.S.S.
Alnino Utomo memandu diskusi “Makna
Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur”
Alnino yang memandu diskusi dengan memaparkan
materinya di papan tulis, sebelum menyampaikan keseluruhan materi, mengajak
rekan-rekan yang hadir dalam diskusi untuk memaparkan pendapat masing-masing
mengenai apa itu kebebasan terlebih dahulu. Ibu Maria Widjaja berpendapat
sekaligus mempertanyakan kembali, “Adakah yang namanya kebebasan?” Kemudian,
mas Roy Aryo, salah satu anggota S.G.S.S
yang sudah cukup lama dan intensif mengikuti pertemuan-pertemuan
S.G.S.S, berpendapat, “Kebebasan
memiliki keterkaitan dengan yang lain, maka dari itu tidak ada namanya
kebebasan absolut.” Pak John pun memberi pendapat yang serupa bahwa, “Kebebasan
individu satu ada kaitannya dengan kebebasan individu yang lain.”
Setelah mendengarkan pendapat rekan-rekan mengenai
apa itu kebebasan, Alnino menulis di papan tulis mengenai perbandingan makna
kebebasan antara konsep Sartre (filsafat Barat) dan Buddha (filsafat Timur). Alnino
mengambil perbandingan tersebut karena dianggapnya menarik, walau Sartre dan
Buddha hidup di lingkungan dan zaman yang berbeda. Sebelum memaparkan
perbandingan kedua konsep tersebut mengenai kebebasan, Alnino mengemukakan
pendapatnya sendiri mengenai apa itu kebebasan, “Kebebasan itu tidak bersebab.”
Dari sana, Alnino langsung tertuju pada perbandingan
kedua konsep dari Sartre dan Buddha. Alnino mengatakan bahwa sebelum memasuki
makna kebebasan dari kedua konsep tersebut, kita patut menyelami terlebih
dahulu bagaimana Sartre dan Buddha memaknai hidup, karena faktor tersebut akan
sangat mempengaruhi keduanya dalam memaparkan apa itu kebebasan.
Buddha memaknai hidup dengan “8 jalan kebenaran”,
yaitu:
- Panna atau Prajna
- Pengertian Benar
- Pikiran Benar
- Sila
- Ucapan Benar
- Perbuatan Benar
- Pencaharian Benar
- Samadhi
Sedangkan dari perspektif Sartre, Sartre memaknai
hidup dengan kesadaran pra-reflektif dan kesadaran reflektif. Contoh kesadaran
pra-reflektif adalah ketika kita membaca buku, kita kerap menyadari isi bukunya
ketimbang kegiatan kita yang sedang membaca buku. Sedangkan contoh kesadaran
reflektif adalah di mana kita menyadari kegiatan kita yang membaca buku, lalu
merefleksikannya ke dalam perbuatan kita.
Kemudian, Alnino langsung membahas ke poin makna
kebebasan dari keduanya. Dari sudut pandang Buddha, kebebasan bisa tercapai
dengan “selfless”. Maksud dari “selfless” di sini adalah tidak ada keakuan dan
melepaskan persepsi. Selain itu, bagi Buddha, untuk mencapai kebebasan,
eksistensi tidak begitu penting.
Sedangkan dari Sartre,
untuk mencapai kebebasan, keakuan itu penting. Bagi Sartre, manusia itu, mau
tidak mau, harus bersikap subjektif sebelum bersikap objektif, berbanding
terbalik dengan Buddha yang menyatakan bahwa kita harus selalu bersikap
objektif. Tambahnya, menurut Buddha, untuk memaknai kebebasan, kita patut
memaknai kehidupan terlebih dahulu. Sedangkan menurut Sartre, kebebasan bagi
yang hidup adalah kutukan. Mengapa kutukan? Karena ketika kita masuk ke dalam
raga, maka di situlah kita terkukung dalam raga tersebut dan di situlah
kebebasan hilang.
Walau demikian, Alnino
menuturkan, “Tapi, keduanya memiliki sebuah kesamaan. Menurut mereka, dengan tanpa fisik, di situlah
kebebasan itu ada. Sartre menjelaskan bahwa sebelum kita hidup dan setelah kita
hidup, kita menemukan kebebasan. Sedangkan Buddha mengatakan ketika kita mati
dan tidak reinkarnasi lagi, di situlah kita menemukan kebebasan.”
Tapi, Alnino juga
mengatakan, “Mengenai makna kebebasan, sebenarnya Buddha dan Sartre cukup
bertentangan. Buddha mengatakan bahwa kebebasan itu bukan dicapai, tapi
dimaknai. Sedangkan menurut Sartre, kebebasan itu harus dicapai. Maka dari itu,
Sartre cenderung pro-revolusi dan mendukung peperangan. Kenapa? Karena dia
menganggap nyawa manusia itu tidak ada harganya dan dengan membunuh manusia,
dia membantu mendapatkan kebebasan.”
Tante Tina yang
merupakan salah satu anggota lama S.G.S.S lantas bertanya pada Alnino, “Maksud
dari dengan membunuh bisa membantu mendapatkan kebebasan itu apa?” Alnino pun
menjawab, “Misalnya, saya membunuh seseorang. Seseorang yang saya bunuh itu
meninggal dan di situlah dia mendapatkan kebebasan.”
Setelah pemaparan
materi yang cukup panjang dari Alnino, ia membuka sesi diskusi. Iman Budi Susu
yang merupakan seorang anggota baru S.G.S.S menceritakan pengalamannya mengenai
kebebasan, “Sesuai pengalaman saya, kebebasan adalah kejujuran. Orang akan
mendapatkan kebebasan bila ia jujur, terutama terhadap diri sendiri.”
Suasana
diskusi “Makna Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur”
Pak John pun kembali
mengemukakan pendapatnya mengenai kebebasan dan menambahkan poin kejujuran,
“Biasanya, orang yang tidak jujur, selain tidak bebas, juga akan sering ketiban
sial.” Sesi diskusi berlangsung cukup panjang setelahnya hingga kesimpulan bisa
ditarik oleh rekan-rekan masing-masing sendiri yang hadir. Layaknya kehidupan,
kebebasan itu paradoks, sehingga bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Di
akhir sesi diskusi, tercetuskanlah dari rekan-rekan yang hadir mengenai topik
untuk pertemuan S.G.S.S berikutnya. Apakah itu? Nantikan pengumumannya!
Bandung,
10 Oktober 2013
S.G.S.S