Pada acara diskusi
filsafat Perennial Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) hari Minggu, tanggal 20
Oktober 2013 yang lalu, bertempat di Hotel Madju, Bandung, mulai pukul 11:30
WIB, Intan Raksaprawira, seorang penggiat diskusi filsafat yang kerap aktif di Universitas Islam Bandung dan sudah cukup lama bergiat di S.G.S.S, menjadi pemandu studi dengan topik “Water Birth”.
“Water Birth” sendiri singkatnya adalah proses melahirkan di dalam air, yang
pada saat ini mulai banyak diberlakukan oleh pihak medis. Dengan mengangkat
topik yang cukup menarik ini, S.G.S.S padat dihadiri oleh para peserta diskusi
yang baru atau pertama kali hadir ke S.G.S.S dan jumlahnya lebih banyak dari acara
diskusi filsafat Perennial sebelumnya yang dipandu oleh Alnino Utomo.
Intan
Raksaprawira memandu diskusi filsafat Perennial dengan topik “Water Birth”
Intan membuka diskusi
dengan menjelaskan sejarah dari “Water Birth”. Sebelum banyak diberlakukan oleh
pihak medis di zaman modern seperti sekarang, sebenarnya “Water Birth” sudah
diberlakukan sejak zaman dulu, seperti pada zaman Mesir kuno maupun Romawi kuno.
Tentunya itu diberlakukan jauh sebelum dunia medis atau dunia kedokteran secanggih sekarang, dalam artian, belum menggunakan alat-alat medis
berteknologi modern. Tambahnya, menurut mereka yang sudah pernah menjalaninya,
“Water Birth” tidak sesakit proses melahirkan secara normal maupun proses caesar yang kerap mengganggu proses persalinan
bagi sang ibu (pada titik ekstrim).
Intan memilih topik
“Water Birth” untuk diskusi filsafat Perennial kali ini karena ia menilai bahwa
“Water Birth” bisa menjadi rujukan berawalnya Universal Brotherhood yang dia petik dari buku “The Key of
Theosophy” dan esensi alam semesta seperti air dipisahkan dari manusia oleh
modernisasi yang dianggapnya perlu redefinisi. Dalam video yang kemudian
diputar, bisa dilihat bahwa peran antara pasangan suami istri atau ayah dan ibu
begitu intim ketika menjalani proses “Water Birth”. Dari beberapa video yang
diputar, bisa disimpulkan bahwa peran suami dalam membantu proses kelahiran
anak begitu kuat, di mana sang suami berusaha keras membantu sang istri
melahirkan bayinya di dalam kolam air, ikut beredam di dalam kolam air tempat berlangsungnya
proses “Water Birth” dan hubungan yang sangat kuat antara suami dan istri
terlihat secara alamiah di sana.
Salah
satu video “Water Birth” yang diputar
Suasana
saat diputarnya video-video “Water Birth”
Kemudian, Intan
mengkritik dunia medis saat ini yang cenderung “mempolitisir” proses persalinan
dengan bantuan obat-obatan serta alat medis berteknologi tinggi seperti USG
yang kerap mempengaruhi secara negatif terhadap janin, misalnya karena dampak
zat kimia maupun zat radioaktif. “Pada zaman dulu, orang menjalani proses 'Water
Birth' tidak dengan bantuan alat atau obat seperti zaman sekarang dan mereka
banyak yang sehat. Bayinya juga terlahir tidak cacat,” tutur Intan. Intan
menambahkan bahwa “mempolitisir” tersebut seolah memberi jarak antara manusia
dengan esensi alam semesta, sehingga manusia cenderung diharuskan “bergantung”
pada dunia medis dan alat-alatnya yang berteknologi tinggi.
Pendapat ini lantas
mendapatkan sejumlah tanggapan dari para peserta diskusi saat sesi diskusi
dibuka. Ivana Stojakovic, seorang seniman asal Serbia yang kerap aktif dalam
acara diskusi S.G.S.S sejak lama, mengutarakan pendapatnya, “Ya, setiap zaman
memang memiliki politiknya masing-masing. Di zaman Romawi kuno, ada politiknya.
Mungkin di zaman sekarang ini, politik yang cukup disorot adalah dalam dunia
medis yang menggunakan teknologi canggih.”
Iman Budi Susu, yang
merupakan kontributor blog S.G.S.S, mengemukakan pendapatnya yang berkaitan
dengan teori Michel Foucault, “Saya sempat sedikitnya membaca teori mengenai 'Politik Klinik' yang ditulis oleh Michel Foucault dan dari sana bisa saya
simpulkan bahwa dunia medis sebenarnya telah menjadi sebuah sistem kapitalisme
yang mempengaruhi orang-orang untuk 'membeli' produk medis demi kepentingan
sang kapitalis, bukan semata-mata bertujuan untuk mengobati orang-orang demi
kemanusiaan.”
Alnino Utomo yang
menjadi pemandu studi di S.G.S.S sebelumnya pun ikut berpendapat, “Zaman dulu, 'Water Birth' dilakukan di sungai-sungai yang tenang agar tekanan air yang
tenang itu membuat sang ibu telah rileks saat menjalani proses melahirkan. Ini
jelas-jelas lebih alami dan menyatukan diri dengan esensi alam semesta.”
Ivana yang kebetulan sedang
hamil dan sering melakukan pemeriksaan kepada pihak medis mengatakan bahwa,
“Memang benar, sekarang hampir semuanya dikomersialisasikan dan kapitalisme. Saya sempat survei ke salah satu
rumah sakit di Bandung dan katanya 'Water Birth' itu biayanya sampai 20 juta Rupiah.”
Suasana
diskusi “Water Birth”
Diskusi pun semakin
berlanjut dengan berbagai pendapat yang berbeda dari para peserta diskusi dan
menjadikan topik “Water Birth” semakin seru untuk terus digali esensinya. Seperti
halnya yang terkaji dalam Ancient Wisdom,
alam semesta telah menyediakan banyak sekali makna untuk kehidupan, tak
terkecuali air yang memang bisa membantu proses kelahiran manusia untuk
membuatnya semakin intim dengan hakikat alam semesta, mengingat bahwa air
sendiri adalah elemen penting dalam kehidupan bumi dan isinya.
Bandung, 23 Oktober 2013
S.G.S.S



