Rabu, 23 Oktober 2013

"Water Birth": Hakikat Air untuk Kelahiran Manusia

Pada acara diskusi filsafat Perennial Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) hari Minggu, tanggal 20 Oktober 2013 yang lalu, bertempat di Hotel Madju, Bandung, mulai pukul 11:30 WIB, Intan Raksaprawira, seorang penggiat diskusi filsafat yang kerap aktif di Universitas Islam Bandung dan sudah cukup lama bergiat di S.G.S.S, menjadi pemandu studi dengan topik “Water Birth”. “Water Birth” sendiri singkatnya adalah proses melahirkan di dalam air, yang pada saat ini mulai banyak diberlakukan oleh pihak medis. Dengan mengangkat topik yang cukup menarik ini, S.G.S.S padat dihadiri oleh para peserta diskusi yang baru atau pertama kali hadir ke S.G.S.S dan jumlahnya lebih banyak dari acara diskusi filsafat Perennial sebelumnya yang dipandu oleh Alnino Utomo.

Intan Raksaprawira memandu diskusi filsafat Perennial dengan topik “Water Birth”

Intan membuka diskusi dengan menjelaskan sejarah dari “Water Birth”. Sebelum banyak diberlakukan oleh pihak medis di zaman modern seperti sekarang, sebenarnya “Water Birth” sudah diberlakukan sejak zaman dulu, seperti pada zaman Mesir kuno maupun Romawi kuno. Tentunya itu diberlakukan jauh sebelum dunia medis atau dunia kedokteran secanggih sekarang, dalam artian, belum menggunakan alat-alat medis berteknologi modern. Tambahnya, menurut mereka yang sudah pernah menjalaninya, “Water Birth” tidak sesakit proses melahirkan secara normal maupun proses caesar yang kerap mengganggu proses persalinan bagi sang ibu (pada titik ekstrim). 

Intan memilih topik “Water Birth” untuk diskusi filsafat Perennial kali ini karena ia menilai bahwa “Water Birth” bisa menjadi rujukan berawalnya Universal Brotherhood yang dia petik dari buku “The Key of Theosophy” dan esensi alam semesta seperti air dipisahkan dari manusia oleh modernisasi yang dianggapnya perlu redefinisi. Dalam video yang kemudian diputar, bisa dilihat bahwa peran antara pasangan suami istri atau ayah dan ibu begitu intim ketika menjalani proses “Water Birth”. Dari beberapa video yang diputar, bisa disimpulkan bahwa peran suami dalam membantu proses kelahiran anak begitu kuat, di mana sang suami berusaha keras membantu sang istri melahirkan bayinya di dalam kolam air, ikut beredam di dalam kolam air tempat berlangsungnya proses “Water Birth” dan hubungan yang sangat kuat antara suami dan istri terlihat secara alamiah di sana. 

           Salah satu video “Water Birth” yang diputar            

Suasana saat diputarnya video-video “Water Birth”

Kemudian, Intan mengkritik dunia medis saat ini yang cenderung “mempolitisir” proses persalinan dengan bantuan obat-obatan serta alat medis berteknologi tinggi seperti USG yang kerap mempengaruhi secara negatif terhadap janin, misalnya karena dampak zat kimia maupun zat radioaktif. “Pada zaman dulu, orang menjalani proses 'Water Birth' tidak dengan bantuan alat atau obat seperti zaman sekarang dan mereka banyak yang sehat. Bayinya juga terlahir tidak cacat,” tutur Intan. Intan menambahkan bahwa “mempolitisir” tersebut seolah memberi jarak antara manusia dengan esensi alam semesta, sehingga manusia cenderung diharuskan “bergantung” pada dunia medis dan alat-alatnya yang berteknologi tinggi.

Pendapat ini lantas mendapatkan sejumlah tanggapan dari para peserta diskusi saat sesi diskusi dibuka. Ivana Stojakovic, seorang seniman asal Serbia yang kerap aktif dalam acara diskusi S.G.S.S sejak lama, mengutarakan pendapatnya, “Ya, setiap zaman memang memiliki politiknya masing-masing. Di zaman Romawi kuno, ada politiknya. Mungkin di zaman sekarang ini, politik yang cukup disorot adalah dalam dunia medis yang menggunakan teknologi canggih.”

Iman Budi Susu, yang merupakan kontributor blog S.G.S.S, mengemukakan pendapatnya yang berkaitan dengan teori Michel Foucault, “Saya sempat sedikitnya membaca teori mengenai 'Politik Klinik' yang ditulis oleh Michel Foucault dan dari sana bisa saya simpulkan bahwa dunia medis sebenarnya telah menjadi sebuah sistem kapitalisme yang mempengaruhi orang-orang untuk 'membeli' produk medis demi kepentingan sang kapitalis, bukan semata-mata bertujuan untuk mengobati orang-orang demi kemanusiaan.”

Alnino Utomo yang menjadi pemandu studi di S.G.S.S sebelumnya pun ikut berpendapat, “Zaman dulu, 'Water Birth' dilakukan di sungai-sungai yang tenang agar tekanan air yang tenang itu membuat sang ibu telah rileks saat menjalani proses melahirkan. Ini jelas-jelas lebih alami dan menyatukan diri dengan esensi alam semesta.”

Ivana yang kebetulan sedang hamil dan sering melakukan pemeriksaan kepada pihak medis mengatakan bahwa, “Memang benar, sekarang hampir semuanya dikomersialisasikan dan  kapitalisme. Saya sempat survei ke salah satu rumah sakit di Bandung dan katanya 'Water Birth' itu biayanya sampai 20 juta Rupiah.”

Suasana diskusi “Water Birth”

Diskusi pun semakin berlanjut dengan berbagai pendapat yang berbeda dari para peserta diskusi dan menjadikan topik “Water Birth” semakin seru untuk terus digali esensinya. Seperti halnya yang terkaji dalam Ancient Wisdom, alam semesta telah menyediakan banyak sekali makna untuk kehidupan, tak terkecuali air yang memang bisa membantu proses kelahiran manusia untuk membuatnya semakin intim dengan hakikat alam semesta, mengingat bahwa air sendiri adalah elemen penting dalam kehidupan bumi dan isinya.


Bandung, 23 Oktober 2013
S.G.S.S