Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S)
mengundang anda untuk hadir dalam diskusi filsafat Perennial dengan
topik “Child Prodigy” yang akan dibawakan oleh Sherika, pada hari
Minggu, tanggal 3 November 2013, mulai pukul 11:30 WIB, bertempat di
Hotel Madju, jalan R.E. Martadinata No. 94 Paviliun (sebelah BCA Riau)
Bandung. Kehadiran dan partisipasi anda akan menambah wawasan kita
semua. Be there!
Selamat datang di blog Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S). Selamat menikmati konten yang telah tersedia. Mari pelajari kehidupan bersama!
Rabu, 30 Oktober 2013
Rabu, 23 Oktober 2013
"Water Birth": Hakikat Air untuk Kelahiran Manusia
Pada acara diskusi
filsafat Perennial Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) hari Minggu, tanggal 20
Oktober 2013 yang lalu, bertempat di Hotel Madju, Bandung, mulai pukul 11:30
WIB, Intan Raksaprawira, seorang penggiat diskusi filsafat yang kerap aktif di Universitas Islam Bandung dan sudah cukup lama bergiat di S.G.S.S, menjadi pemandu studi dengan topik “Water Birth”.
“Water Birth” sendiri singkatnya adalah proses melahirkan di dalam air, yang
pada saat ini mulai banyak diberlakukan oleh pihak medis. Dengan mengangkat
topik yang cukup menarik ini, S.G.S.S padat dihadiri oleh para peserta diskusi
yang baru atau pertama kali hadir ke S.G.S.S dan jumlahnya lebih banyak dari acara
diskusi filsafat Perennial sebelumnya yang dipandu oleh Alnino Utomo.
Intan
Raksaprawira memandu diskusi filsafat Perennial dengan topik “Water Birth”
Intan membuka diskusi
dengan menjelaskan sejarah dari “Water Birth”. Sebelum banyak diberlakukan oleh
pihak medis di zaman modern seperti sekarang, sebenarnya “Water Birth” sudah
diberlakukan sejak zaman dulu, seperti pada zaman Mesir kuno maupun Romawi kuno.
Tentunya itu diberlakukan jauh sebelum dunia medis atau dunia kedokteran secanggih sekarang, dalam artian, belum menggunakan alat-alat medis
berteknologi modern. Tambahnya, menurut mereka yang sudah pernah menjalaninya,
“Water Birth” tidak sesakit proses melahirkan secara normal maupun proses caesar yang kerap mengganggu proses persalinan
bagi sang ibu (pada titik ekstrim).
Intan memilih topik
“Water Birth” untuk diskusi filsafat Perennial kali ini karena ia menilai bahwa
“Water Birth” bisa menjadi rujukan berawalnya Universal Brotherhood yang dia petik dari buku “The Key of
Theosophy” dan esensi alam semesta seperti air dipisahkan dari manusia oleh
modernisasi yang dianggapnya perlu redefinisi. Dalam video yang kemudian
diputar, bisa dilihat bahwa peran antara pasangan suami istri atau ayah dan ibu
begitu intim ketika menjalani proses “Water Birth”. Dari beberapa video yang
diputar, bisa disimpulkan bahwa peran suami dalam membantu proses kelahiran
anak begitu kuat, di mana sang suami berusaha keras membantu sang istri
melahirkan bayinya di dalam kolam air, ikut beredam di dalam kolam air tempat berlangsungnya
proses “Water Birth” dan hubungan yang sangat kuat antara suami dan istri
terlihat secara alamiah di sana.
Salah
satu video “Water Birth” yang diputar
Suasana
saat diputarnya video-video “Water Birth”
Kemudian, Intan
mengkritik dunia medis saat ini yang cenderung “mempolitisir” proses persalinan
dengan bantuan obat-obatan serta alat medis berteknologi tinggi seperti USG
yang kerap mempengaruhi secara negatif terhadap janin, misalnya karena dampak
zat kimia maupun zat radioaktif. “Pada zaman dulu, orang menjalani proses 'Water
Birth' tidak dengan bantuan alat atau obat seperti zaman sekarang dan mereka
banyak yang sehat. Bayinya juga terlahir tidak cacat,” tutur Intan. Intan
menambahkan bahwa “mempolitisir” tersebut seolah memberi jarak antara manusia
dengan esensi alam semesta, sehingga manusia cenderung diharuskan “bergantung”
pada dunia medis dan alat-alatnya yang berteknologi tinggi.
Pendapat ini lantas
mendapatkan sejumlah tanggapan dari para peserta diskusi saat sesi diskusi
dibuka. Ivana Stojakovic, seorang seniman asal Serbia yang kerap aktif dalam
acara diskusi S.G.S.S sejak lama, mengutarakan pendapatnya, “Ya, setiap zaman
memang memiliki politiknya masing-masing. Di zaman Romawi kuno, ada politiknya.
Mungkin di zaman sekarang ini, politik yang cukup disorot adalah dalam dunia
medis yang menggunakan teknologi canggih.”
Iman Budi Susu, yang
merupakan kontributor blog S.G.S.S, mengemukakan pendapatnya yang berkaitan
dengan teori Michel Foucault, “Saya sempat sedikitnya membaca teori mengenai 'Politik Klinik' yang ditulis oleh Michel Foucault dan dari sana bisa saya
simpulkan bahwa dunia medis sebenarnya telah menjadi sebuah sistem kapitalisme
yang mempengaruhi orang-orang untuk 'membeli' produk medis demi kepentingan
sang kapitalis, bukan semata-mata bertujuan untuk mengobati orang-orang demi
kemanusiaan.”
Alnino Utomo yang
menjadi pemandu studi di S.G.S.S sebelumnya pun ikut berpendapat, “Zaman dulu, 'Water Birth' dilakukan di sungai-sungai yang tenang agar tekanan air yang
tenang itu membuat sang ibu telah rileks saat menjalani proses melahirkan. Ini
jelas-jelas lebih alami dan menyatukan diri dengan esensi alam semesta.”
Ivana yang kebetulan sedang
hamil dan sering melakukan pemeriksaan kepada pihak medis mengatakan bahwa,
“Memang benar, sekarang hampir semuanya dikomersialisasikan dan kapitalisme. Saya sempat survei ke salah satu
rumah sakit di Bandung dan katanya 'Water Birth' itu biayanya sampai 20 juta Rupiah.”
Suasana
diskusi “Water Birth”
Diskusi pun semakin
berlanjut dengan berbagai pendapat yang berbeda dari para peserta diskusi dan
menjadikan topik “Water Birth” semakin seru untuk terus digali esensinya. Seperti
halnya yang terkaji dalam Ancient Wisdom,
alam semesta telah menyediakan banyak sekali makna untuk kehidupan, tak
terkecuali air yang memang bisa membantu proses kelahiran manusia untuk
membuatnya semakin intim dengan hakikat alam semesta, mengingat bahwa air
sendiri adalah elemen penting dalam kehidupan bumi dan isinya.
Bandung, 23 Oktober 2013
S.G.S.S
Selasa, 22 Oktober 2013
Halaman Facebook Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S)
Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) kini telah memiliki halaman facebook dengan alamat http://www.facebook.com/sanggarsophia. Silakan rekan-rekan "like" langsung di situs facebook dengan klik di sini.
Selasa, 15 Oktober 2013
Pertemuan Studi Grup Sanggar Sophia Selanjutnya!
Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) mengundang anda untuk hadir dalam diskusi filsafat Perennial dengan topik “Water Birth” yang akan dipandu oleh Intan Raksaprawira, pada hari Minggu, tanggal 20 Oktober 2013, mulai pukul 11:30 WIB, bertempat di Hotel Madju, jalan R.E. Martadinata No. 94 Paviliun (sebelah BCA Riau) Bandung. Kehadiran dan partisipasi anda akan menambah wawasan kita semua. Be there!
Kamis, 10 Oktober 2013
Warna-warni Kebebasan
Diskusi filsafat Perennial kembali diadakan oleh
Studi Grup Sanggar Sophia (S.G.S.S) pada hari Minggu, tanggal 6 Oktober 2013,
mulai pukul 11:30 WIB, di Hotel Madju, Bandung. Bila pada pertemuan sebelumnya
diputar film “Amadeus” dan dikaji dari berbagai sudut pandang, termasuk dari
sudut pandang filsafat Perennial, kali ini S.G.S.S mengangkat topik “Makna
Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur” yang dipandu oleh Alnino
Utomo, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Hubungan Internasional di sebuah
PTS di kota Bandung yang juga anggota lama S.G.S.S.
Alnino Utomo memandu diskusi “Makna
Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur”
Alnino yang memandu diskusi dengan memaparkan
materinya di papan tulis, sebelum menyampaikan keseluruhan materi, mengajak
rekan-rekan yang hadir dalam diskusi untuk memaparkan pendapat masing-masing
mengenai apa itu kebebasan terlebih dahulu. Ibu Maria Widjaja berpendapat
sekaligus mempertanyakan kembali, “Adakah yang namanya kebebasan?” Kemudian,
mas Roy Aryo, salah satu anggota S.G.S.S
yang sudah cukup lama dan intensif mengikuti pertemuan-pertemuan
S.G.S.S, berpendapat, “Kebebasan
memiliki keterkaitan dengan yang lain, maka dari itu tidak ada namanya
kebebasan absolut.” Pak John pun memberi pendapat yang serupa bahwa, “Kebebasan
individu satu ada kaitannya dengan kebebasan individu yang lain.”
Setelah mendengarkan pendapat rekan-rekan mengenai
apa itu kebebasan, Alnino menulis di papan tulis mengenai perbandingan makna
kebebasan antara konsep Sartre (filsafat Barat) dan Buddha (filsafat Timur). Alnino
mengambil perbandingan tersebut karena dianggapnya menarik, walau Sartre dan
Buddha hidup di lingkungan dan zaman yang berbeda. Sebelum memaparkan
perbandingan kedua konsep tersebut mengenai kebebasan, Alnino mengemukakan
pendapatnya sendiri mengenai apa itu kebebasan, “Kebebasan itu tidak bersebab.”
Dari sana, Alnino langsung tertuju pada perbandingan
kedua konsep dari Sartre dan Buddha. Alnino mengatakan bahwa sebelum memasuki
makna kebebasan dari kedua konsep tersebut, kita patut menyelami terlebih
dahulu bagaimana Sartre dan Buddha memaknai hidup, karena faktor tersebut akan
sangat mempengaruhi keduanya dalam memaparkan apa itu kebebasan.
Buddha memaknai hidup dengan “8 jalan kebenaran”,
yaitu:
- Panna atau Prajna
- Pengertian Benar
- Pikiran Benar
- Sila
- Ucapan Benar
- Perbuatan Benar
- Pencaharian Benar
- Samadhi
Sedangkan dari perspektif Sartre, Sartre memaknai
hidup dengan kesadaran pra-reflektif dan kesadaran reflektif. Contoh kesadaran
pra-reflektif adalah ketika kita membaca buku, kita kerap menyadari isi bukunya
ketimbang kegiatan kita yang sedang membaca buku. Sedangkan contoh kesadaran
reflektif adalah di mana kita menyadari kegiatan kita yang membaca buku, lalu
merefleksikannya ke dalam perbuatan kita.
Kemudian, Alnino langsung membahas ke poin makna
kebebasan dari keduanya. Dari sudut pandang Buddha, kebebasan bisa tercapai
dengan “selfless”. Maksud dari “selfless” di sini adalah tidak ada keakuan dan
melepaskan persepsi. Selain itu, bagi Buddha, untuk mencapai kebebasan,
eksistensi tidak begitu penting.
Sedangkan dari Sartre,
untuk mencapai kebebasan, keakuan itu penting. Bagi Sartre, manusia itu, mau
tidak mau, harus bersikap subjektif sebelum bersikap objektif, berbanding
terbalik dengan Buddha yang menyatakan bahwa kita harus selalu bersikap
objektif. Tambahnya, menurut Buddha, untuk memaknai kebebasan, kita patut
memaknai kehidupan terlebih dahulu. Sedangkan menurut Sartre, kebebasan bagi
yang hidup adalah kutukan. Mengapa kutukan? Karena ketika kita masuk ke dalam
raga, maka di situlah kita terkukung dalam raga tersebut dan di situlah
kebebasan hilang.
Walau demikian, Alnino
menuturkan, “Tapi, keduanya memiliki sebuah kesamaan. Menurut mereka, dengan tanpa fisik, di situlah
kebebasan itu ada. Sartre menjelaskan bahwa sebelum kita hidup dan setelah kita
hidup, kita menemukan kebebasan. Sedangkan Buddha mengatakan ketika kita mati
dan tidak reinkarnasi lagi, di situlah kita menemukan kebebasan.”
Tapi, Alnino juga
mengatakan, “Mengenai makna kebebasan, sebenarnya Buddha dan Sartre cukup
bertentangan. Buddha mengatakan bahwa kebebasan itu bukan dicapai, tapi
dimaknai. Sedangkan menurut Sartre, kebebasan itu harus dicapai. Maka dari itu,
Sartre cenderung pro-revolusi dan mendukung peperangan. Kenapa? Karena dia
menganggap nyawa manusia itu tidak ada harganya dan dengan membunuh manusia,
dia membantu mendapatkan kebebasan.”
Tante Tina yang
merupakan salah satu anggota lama S.G.S.S lantas bertanya pada Alnino, “Maksud
dari dengan membunuh bisa membantu mendapatkan kebebasan itu apa?” Alnino pun
menjawab, “Misalnya, saya membunuh seseorang. Seseorang yang saya bunuh itu
meninggal dan di situlah dia mendapatkan kebebasan.”
Setelah pemaparan
materi yang cukup panjang dari Alnino, ia membuka sesi diskusi. Iman Budi Susu
yang merupakan seorang anggota baru S.G.S.S menceritakan pengalamannya mengenai
kebebasan, “Sesuai pengalaman saya, kebebasan adalah kejujuran. Orang akan
mendapatkan kebebasan bila ia jujur, terutama terhadap diri sendiri.”
Suasana
diskusi “Makna Kebebasan dari Perspektif Filsafat Barat dan Timur”
Pak John pun kembali
mengemukakan pendapatnya mengenai kebebasan dan menambahkan poin kejujuran,
“Biasanya, orang yang tidak jujur, selain tidak bebas, juga akan sering ketiban
sial.” Sesi diskusi berlangsung cukup panjang setelahnya hingga kesimpulan bisa
ditarik oleh rekan-rekan masing-masing sendiri yang hadir. Layaknya kehidupan,
kebebasan itu paradoks, sehingga bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Di
akhir sesi diskusi, tercetuskanlah dari rekan-rekan yang hadir mengenai topik
untuk pertemuan S.G.S.S berikutnya. Apakah itu? Nantikan pengumumannya!
Bandung,
10 Oktober 2013
S.G.S.S
Rabu, 02 Oktober 2013
Pertemuan Studi Grup Sanggar Sophia Selanjutnya
Studi
Grup Sanggar Sophia mengundang anda untuk hadir dalam diskusi filsafat
Perennial dengan topik "MAKNA KEBEBASAN DARI PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT
& TIMUR" yang akan dipandu Alnino Utomo, pada hari Minggu, tanggal 6
Oktober 2013, pukul 11:30 WIB, di Hotel Madju, jalan R.E. Martadinata
No. 94 (Sebelah BCA Riau) Paviliun, Bandung. Kehadiran dan partisipasi
anda dalam diskusi akan menambah wawasan kita semua. BE THERE!
Langganan:
Postingan (Atom)